Senin, 26 Oktober 2009

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 4

“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng.

“Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar.

“Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak.

“Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.” Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya  yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan 
terbaring di atas semak.

“Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat.

“Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.

“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya.

“Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang.

“O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya.

“Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak.

“Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.” Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang.

“Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar.

“Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud 
kita yang diciptakan Allah….” Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher.

“Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng.

“Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming.

“Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.

Bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar