Minggu, 25 Oktober 2009

Syari’at Pada Masa Nabi Bukan Harga Mati!

Syariat tidak akan pernah sempurna karena bentuknya harus selalu disesuaikan dengan jiwa zaman. Adalah kebodohan yang luar biasa bila kita masih ingin memendam orang (hidup-hidup, setengah badan atau menyisakan hanya kepalanya!) dan kemudian melemparinya dengan batu sampai mati karena berzina atau membunuh seseorang karena ia memutuskan untuk tidak percaya kepada Islam. Saat ini, tidak mungkin kita memotong tangan pencuri! Banyak ulama yang tampaknya teduh dan damai di NU atau Muhammadiyah, tetapi mereka pura-pura tidak tahu bahwa sejumlah praktik hukum Islam (rajam, qisas dll.) yang dilakukan pada masa Nabi sudah tidak relevan lagi saat ini, dan bahkan bertentangan dengan apa yang dianggap “ma’ruf” oleh jiwa zaman.

Saya memaklumi mengapa akhirnya banyak orang meninggalkan agama, atau bahkan membencinya. Agama, dalam uraian para ustad, pendeta dan rabbi, basi! Setiap masa harus menyempurnakan Islamnya sendiri dan menata kembali syariat mereka sesuai dengan asas keadilan dan kasih-sayang. Yang dimaksud Tuhan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sepertinya bukan dimaksudkan untuk syari’at atau agama Islam yang dikembangkan setelah Nabi wafat atau “Islam” yang kita kenal.

Jangan paksa orang untuk mengikuti jalan pikiran orang-orang yang hidup beribu-ribu tahun lalu. Sudah terlalu muram wajah agama (apalagi Islam). Tolong hentikan semua kegilaan (meski hanya dalam pikiran atau Khutbah Jum’at) atas nama Perintah Tuhan.

Tidak ada perintah rajam dalam al-Qur’an, yang ada hanya hukum dera. Rajam adalah praktik Nabi dan Sahabat. Hukum potong tangan bagi pencuri memang sangat jelas, tetapi bagaimanakah kita bisa menerapkannya? Ini bukan soal tafsir atau tahrijul hadist atau ushul fiqh atau apalah, ini soal Akal Budi dan Nurani, bung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar