Minggu, 25 Oktober 2009

Pentingnya Penyegaran Pemahaman Islam


Sebenarnya saya sudah malas membahas masalah ini, tetapi mengapa tidak pernah ada kata akhir bagi kekerasan atas nama agama, apalagi Islam? Mengapa agama yang namanya berasal dari kata kerja yang berkonotasi pasif, yakni “pasrah” atau “menyerah” itu bisa identik dengan kekerasan?

Ini semua, IMHO, karena jalan pikiran sekelompok pengikut agama sudah diracuni oleh berbagai elemen pemicu kekerasan. Kekerasan tidak muncul begitu saja; ada alasan, ada sesuatu yang memicu kita untuk melakukan kekerasan. Tentara, misalnya, bisa membunuh ribuan orang atas nama kedaulatan negara. Patriotisme, dalam hal ini, menjadi pemicunya. Seorang guru juga tenang-tenang saja, malah merasa melakukan perbuatan mulia, ketika menghukum siswanya yang bandel atas nama pendidikan. Pedagogi, dalam hal ini ironisnya, menjadi pemicu kekerasan.

Agama adalah pemicu kekerasan nomer satu. Karena orang biasanya lebih fanatik pada agama ketimbang negara (satu-satunya yang bisa ngalahin fanatisme agama, mungkin hanya sepak bola!). Islam, karena alasan-alasan historis, adalah agama yang paling produktif dalam melahirkan pribadi-pribadi — baik yang “ignorant” maupun yang “intellectualized” — yang gemar melakukan kekerasan saat ini.

Kekerasan dalam agama Yahudi muncul setelah Zioisme lahir sebagai kekuatan politik paska-Perang Dunia ke-2. Sebelumnya mereka lebih sering jadi korban kekerasan. Kekristenan sudah terlalu sering melakukan kekerasan dahulu kala ketika Gereja masih berzinah dengan entitas politik di Eropa. Ada satu saat, entah kapan, ketika ajaran kasih Yesus Kristus tiba-tiba mendominasi Kekristenan; yakni ketika Hukum Taurat diganti oleh sebuah frase yang sering diulang-ulang sahabat saya, “Cintailah Tuhan dan Cintailah Tetanggamu”. Oh, ya, Kata Yesus juga, “Kalo digampar pipi kanan, kasih pipi kiri.”

Meski demikian, Kekristenan masih bisa memicu kekerasan sampe sekarang, meski kadarnya tidak sebesar Islam, unless you count Bush’s War on Terror. Agama ini, Islam, memang bermasalah. Pertama, Islam, sebagai agama Ibrahimiah terakhir, merupakan perpaduan antara Yahudi dan Kristen. Islam mengadopsi Hukum Taurat, simbol kekerasan agama Ibrahim di mana pendosa bisa dikenakan hukum mati. Islam mengadopsi militansi penyebaran Kabar Gembira orang Kristen, yang dilakukan oleh Paulus dan murid-murid Yesus, di mana seorang yang sesat karena melakukan bid’ah bisa diancam hukuman mati. Dari sini saja sudah ada potensi kekerasan, yang cukup mengerikan.

Nah, masalahnya sekarang umat Islam tidak mau mengubah cara pandang mereka. Mereka seperti tidak mau perduli bahwa ajaran Islam masih diselimuti semangat totalitarianisme Yahweh pada Perjanjian Lama, sementara para da’i masih berpikir seperti pengikut Kristus pada masa awal penyebaran ajaran Kristen di Eropa dan Asia Tengah; setiap orang harus diselamatkan dari jalan yang sesat, dengan cara apapun, kalo perlu hukum gantung!

Oh, oke, mungkin sekarang sudah tidak ada lagi yang gantung-menggantung saat ini, tetapi penyerangan dan pengrusakan terhadap properti Ahmadiyah dan Al-Qiyadah (Ahmadiyah versi Indonesia), dan yang terakhir penyerangan yang dilakukan FPI pada aktifis pembela Pancasila itu bukti bahwa militansi khas Gereja Katolik kuno itu masih hidup dalam agama Islam.

Padahal…honestly, teks-teks keagamaan Islam itu jauh lebih “advanced” dari kedua agama sebelumnya. Ruang bagi penafsiran pluralistik dan toleransi itu jauh lebih luas dalam al-Qur’an ketimbang Tanakh Ibrani dan Perjanjian Baru. Saya tidak ingin berapologi bahwa orangnya yang salah, bukan ajarannya. Bukan begitu, menurut saya, ajaran Islam yang dianut oleh Muslim pelaku kekerasan itu adalah ajaran Islam yang salah. Lebih jauh, menurut saya, mayoritas Umat Islam saat ini juga menganut ajaran Islam yang salah bila mereka masih menggunakan istilah “lakum dinukum waliyadin” kepada Ahlul Kitab, apalagi berbagai denominasi yang ada dalam tradisi Islam, yang sebenarnya tidak lebih dari refleksi Islam dalam berbagai kebudayaan.

The bottom line is; change the way you perceive your religion if you’re a Muslim!! You must rejuvenate your understanding about the Qur’an, Muhammad and, of course, God.

Kalo upaya penyegaran pemahaman Islam berhenti, maka Kekerasan yang asalnya dari abad pertengahan itu akan terus muncul atas nama Islam, yang ironisnya pernah membantu Eropa, meski gak terlalu banyak, keluar dari Zaman Kegelapan kepada Masa Pencerahan. Harus ada upaya untuk mengikis fundamentalisme dalam diri kita sendiri.

Setelah Caknur wafat, pembaruan pemikiran Islam Indonesia hampir mati suri. Setelah Ulil sekolah ke Amerika, suara-suara Muslim progresif semakin melemah. Muslim moderat di kantong-kantong NU dan Muhammadiyah malah sibuk berpolitik. Mungkin sekarang saatnya para blogger Muslim (yang murtad ke agnostikisme seperti mas ini juga beloh bantu) — yang saya lihat banyak yang kritis, terbuka dan progresif — menyerukan pentingnya pembaruan pemikiran Islam, yang melampaui Caknur, melampaui Ulil kalo perlu. Biar Islam bisa dipahami lebih dari sekedar solat, jilbab, puasa, akhi, ukhti, Fachri dan tetek bengek lainnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar